Cakrawala Hening
Cakrawala Hening
Kau bilang sangat menyukai laut. Kau memang tidak mengatakannya langsung kepadaku sebagaimana juga hal-hal lainnya. Namun, dari balik dinding kamar aku pernah mendengar kau berbicara tentang itu; tentang keinginanmu berdiri di depan laut dan kau menyaksikan ikan-ikan berlompatan.
Aku bergumam dalam hati sambil mengenang semua yang pernah kita lalui, memendam janji terdalam yang tak bisa aku tunaikan.
Penyakit itu menggerogoti tubuhmu. Satu tahun kau bergelut melawan rasa yang mungkin takkan mampu ditahan oleh seorang pun. Rambutmu yang terurai panjang perlahan menipis tertanggal helai demi helai, rasa sakit yang begitu nyeri menyerang di kepalamu, kau hanya mampu menahannya dengan erangan-erangan yang keluar dari bibir pucatmu.
“Sakit, sakit, ah.”katanya sambil mengerang menahan sakit tak terperihkan
“Sabar dik, kau pasti sembuh. Bukankah kau ingin melihat laut itu, bukankah kau ingin menyaksikan ikan-ikan berlompatan.” Ucapku menenangkannya sambil mengelus-elus kepalanya.
Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat, suaranya tak berhenti mengerang, ia mengalami kejang-kejang, semua orang menjadi panik malam itu, termasuk ibu yang sudah sejak seminggu ini menangis melihat kodisi tubuhnya yang semakin hari semakin melemah, ia sudah tidak lagi mampu mengenali kami keluarganya, erangannya seolah menyayat hati semua orang yang ada di ruangan itu. Aku yang tak mampu membendung butiran bening di kelopak mataku akhirnya tumpah sejadi-jadinya saat melihatnya menghembuskan nafas terakhir.
Ibu yang melihatnya lemas dan tak berdaya, dipeluknya tubuh Siska yang telah kaku terbujur sembari mengucapkan keikhlasan hatinya demi dia yang sangat dikasihinya itu.
Bersama keinginanmu kau pergi menuju cakrawala hening dengan penuh kedamaian. Menyisakan isak tangis orang-orang yang menyayangimu, seolah tak rela dengan kepergianmu yang begitu cepat.
Comments
Post a Comment