Hikmah Ujian Adalah Keberkahan

Ketika saya membuka hape, pesan masuk dari ibu Kanjeng Sri Sugiastuti, sang pegiat literasi yang sangat saya kagumi, beliau mengirimkan link blognya langsung ke saya. Saya yang suka dengan tulisan beliau langsung berselancar ke blog beliau di sana beliau bercerita tentang Malik bin Dinar, cerita itu didapatnya dari kultum subuh hari kedua ramadhan. Kisah yang begitu menarik untuk di baca seolah saya sedang duduk mendengarkan cerita dari mendiang ibu saya yang selalu membacakan cerita-cerita tentang nabi dan sahabat-sahabatnya. Sungguh tulisan Bu Kanjeng seolah membawa saya pada keadaan saya bersama ibu saya dahulu.

Dalam tulisan itu dikisahkan bahwa Malik bin Dinar adalah seorang pendosa, dalam kesehariannya ia mabuk, berjudi dan berakhlak buruk. Suatu ketika ia menikah dengan seorang gadis dalam pernikahannya tersebut ia dikaruniai seorang anak, anak tersebut diberi nama Fatimah. Malik sangat bahagia memiliki anak yang berparas cantik tersebut, perlahan sifat buruknya berubah karna Fatimah.

Malik sangat beruntung Fatimah dapat membuat perubahan atas dirinya. Suatu hari pada saat Malik hendak minum khamar, Fatimah datang dan menyingkirkan gelas tersebut hingga tumpah mengenai pakaian yang ia kenakan. Padahal waktu itu usia Fatimah belum genap dua tahun. Begitulah Allah SWT mengatur segalanya. Melalui Fatimah anak tercintanya ia perlahan menyadarkan Malik Bin Dinar dari kebiasaannya tersebut.

Bukan hanya itu Allah SWT membuat skenario lain terhadap Malik bin Dinar. Fatimah anak kesayangannya itu diambil kembali oleh Allah SWT tepat diusianya yang ketiga tahun. Dan itu menjadi pukulan yang sangat telak bagi Malik.

Malik sangat terpukul atas kepergian anak tercintanya itu, ia mengalami goncangan yang amat dahsyat, duka mendalam menyelimuti dirinya. Ia kembali ke dunia gelap dan bahkan lebih buruk lagi, ia mengaku belum memiliki kesabaran sebagaimana idealnya orang mukmin. Setanpun ikut andil besar dalam menggoda imannya.

Datanglah masa ketika setan membujuk tokoh yang pernah berguru ke Anas bin Malik itu untuk menenggak minuman haram sepanjang malam. Minuman itu membuat dirinya tertidur lelap dan bermimpi mengerikan. “Aku melihat hari kiamat,” katanya mengungkapkan.

Ia pun mengisahkan bunga tidurnya tersebut. Matahari gelap, lautan menjelma menjadi api. Bumi bergoncang. Segenap anak Adam berkumpul ketika itu secara berkelompok. Malik berada di tengah-tengah kelompok itu.

Suara misterius memanggil satu per satu segerombolan orang tersebut. Ia melihat wajah seseorang yang dipanggil menuju Sang Khaliq, begitu kelam. Tiba-tiba, giliran suara itu memanggil namanya agar menghadap Tuhan. Padang Mahsyar yang semula penuh sesak, tak satu pun terlihat. Semua lenyap, menyisakan dirinya seorang.

Dalam mimpi itu, ia melihat seekor ular besar yang ganas lagi kuat merayap mengejar dan membuka mulutnya, seolah ingin menerkam. Ia berlari ketakutan. Di tengah pelariannya, Malik melihat seorang laki-laki tua yang lemah dan meminta tolong kepadanya. “Hai, selamatkanlah aku dari ular ini!”

Si tua itu menolak lantaran tak kuasa, dirinya sangat lemah. Ia hanya menyarankan agar Malik berlari ke suatu arah dengan harapan selamat. Saran itu ia ambil dan tak disangka justru di depannya terdapat jurang api yang membara.

Sementara, ular itu masih berada di belakangnya. Ia bingung bukan kepalang. Malik harus melarikan diri dari ular dan menghindar dari api. Ia lantas memutuskan berlari cepat kembali ke orang tua untuk meminta bantuan.

Si tua renta itu kembali menolak sambil menangis menunjukkan ketidakmampuannya. Ia menyarankan Malik agar berlari menuju gunung. “Aku lemah seperti yang engkau lihat,” katanya.  

Malik berlari sekencang mungkin ke arah gunung agar terhindar dari ular yang hendak memangsanya. Di atas gunung, ia melihat anak-anak kecil dan mendengar teriakan. “Wahai Fatimah tolonglah ayahmu, tolonglah ayahmu!”

Malik bin Dinar  kaget bercampur bahagia. Fatimah yang meninggal di usia tiga tahun berada di tengah-tengah anak-anak itu dan akan menyelamatkan dirinya dari situasi mengerikan ini. Fatimah memegang tangan sang ayah dan mengusir ular dengan tangan kirinya. Sang ayah tak berkutik, ia laksana seonggok mayat yang ketakutan.

Fatimah lantas duduk di pangkuan sang ayah, sebagaimana di dunia dulu kemudian berkata, “Wahai Ayah, belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah. (QS al-Hadid [15]: 16).

Sang Ayah meminta penjelasan buah hatinya perihal ular dan kakek tua renta. Fatimah menjelaskan, ular merupakan amal keburukan yang dilakukan sang ayah yang dibesarkan dan tumbuh hingga nyaris menerkamnya.

Sedangkan lelaki lemah, merupakan wujud dari amal saleh yang tidak pernah dipelihara hingga ia sendiri menangis. Fatimah pun bergumam, seandainya saja ia tidak terlahir di dunia dan meninggal di usia balita, tentu tidak akan bisa memberikan manfaat kepadanya. “Tahukah engkau Ayah, amal-amal di dunia akan berwujud kelak di akhirat,” kata Fatimah.   

Malik bangun dari mimpinya dan berteriak, “Wahai Tuhanku, sudah saatnya wahai Rabbku. Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.” Lantas, ia mandi dan keluar untuk salat Subuh dan ingin segera bertobat.

Ia kaget ketika memasuki masjid sang imam tengah membaca ayat yang sama seperti yang dibaca oleh Fatimah. Sejak itulah, Malik memutuskan untuk tetap istiqamah berada di jalan-Nya. Keteguhannya beribadah dan mengabdikan diri untuk agama dan Sang Khaliq menjadi teladan abadi sekalipun ia telah wafat pada 130 H.

 Kisah ketakwaan dan kesalehan Malik bin Dinar sangat mengabadi di kalangan salaf, terutama para pegiat tasawuf. Ia terkenal dengan zuhud dan kehati-hatiannya (wara’). Pemilik nama lengkap Abu Yahya Malik bin Dinar al-Mashri tersebut juga piawai dalam ilmu agama.

Beberapa ulama tabiin dan generasi berikutnya banyak belajar dari sosok yang berprofesi sebagai pencatat buku itu. Tetapi, siapa sangka Malik bin Dinar yang saat ini menjadi teladan ketaatan tersebut.

Kisah yang dipaparkan oleh Bu Kanjeng melalui blognya begitu menginspirasi saya hingga saya membuat tulisan ini. Sungguh ketika Allah SWT menyayangi kita ia akan membuka mata hati untuk meniti kenalannya, Titian jalan sirathaal mustakhim itu nyata adanya, ketika kita meniti jalan keimanan bagai meniti jembatan panjang yang sangat tipis dan halus, tidak semua orang bisa melaluinya, sebab godaan dan gangguan atas nafsu yang begitu berat, namun Allah SWT memberikan petunjuk untuk kita bisa melaluinya. Hanya orang yang beriman lah yang mendapatkan petunjuk tersebut. Ketika Allah menyayangi kita maka Allah'akan membukakan mata hati kita sebagai petunjuk berbuat kebenaran. Namun ketika Allah telah murka maka Allah akan menutup mata hati kita hingga tidak ada satu orangpun di dunia ini menolongnya.

Bersyukurlah kita sebagai umatnya yang masih mendapatkan segala kebaikan darinya, masih dijaganya kita dari perbuatan yang ingkar serta mungkar. Didekatkannya Kuta kepada orang-orang yang memiliki iman serta mengingatkan kita pada jalan kebenaran. Sungguh anugrah yang luar biasa mendapatkan siraman rohani dari ibu Kanjeng sang pegiat literasi bukan saja menginspirasi dalam menulis namun sekaligus membawa pada jalan kebaikan, semoga ini menjadi amal ibadah jariahnya ammin.

Semoga kisah ini menjadi motivasi untuk kita semua untuk terus menyadari pentingnya beramal saleh.

Comments

Popular posts from this blog

Perkembangbiakan Vegetatif dan Generatif Pada Tumbuhan

Kepergian Sang Panglima

SYAIR PENA PENGUBAH WARNA KESEDIHAN